Minggu, 27 Maret 2011

PERBEDAAN UU NO. 23 TAHUN 1997 DENGAN UU NO. 32 TAHUN 2009


Lingkungan hidup serta sumberdaya alam yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia. Dan dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang - Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan.

Terhitung tanggal 3 Oktober 2009, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup telah dinyatakan tidak berlaku lagi, yang mana kemudian digantikan dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).

Adapun isi Undang-undang No. 32 tahun 2009 terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dan apabila kita cermati terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, serta keadilan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan.

Adapun beberapa point penting yang terdapat dalam antara UU 23 tahun 1997 dan UU No. 32 Tahun 2009 antara lain:
  1. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi instrumen kajian lingkungan hidup strategis, tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, amdal, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
  1. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
  2. Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
  3. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
  4. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
  5. Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global;
  6. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup.
  7. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
  8. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas;
  9. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan
  10. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah; antara UU 23 tahun 1997 disebut kan dalam pasal 8-13 dimana dalam pasal-pasal tersebut tidak disebutkan bagaimana kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan hanya menyebutkan bahwa penyerahan sebagian kekuasaan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada pasal 13. Sedangkan dalam UU 32 tahun 2009 di dalam pasal 9-15 disebutkan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dimana disebutkan dalam pasal-pasal itu bahwa pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota wajib menyusun RPPLH ( Rancangan Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan hidup).
Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Oleh karena itu,  Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukumlembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah.

Adapun perbandingan yang dapat kita lihat dari kedua Undang-Undang ini,adalah
Bahan
Perbandingan
UU No. 23 tahun 1997
UU No. 32 tahun 2009
  1. Kewenangan Pusat dan daerah

Tidak terlalu detail dijelaskan pembagian kewenangan antara pusat dan daerah
Pembagian tugas dan kewenangan jelas dalam pasal 63-64
2.      Upaya pengendalian lingkungan hidup
Belum diatur secara jelas dan terpisah

Diatur dalam BAB V tentang pengendalian
3.      Instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
Diatur dengan peraturan pemerintah (pasal 14)
Meliputi KLHS, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dll
4.      Unsur-unsur Pengelolaan lingkungan hidup

Unsur pengelolaan lingkungan hidup tercantum dalam pasal 1 ayat 1-25

Penambahan unsur antara lain RPPLH, KLHS, UKL-UPL, Perubahan iklim, dll

  1. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian
kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal
dokumen amdal akan dinilai oleh komisi penilai yang dibentuk oleh menteri, gubernur/walikota

  1. Pendayagunaan pendekatan ekosistem
tidak ada penetapan wilayah ekoregion
Ada wilayah ekoregion
  1. Denda pidana

Denda paling sedikit sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
Denda paling sedikit Rp 1000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
  1. Pengawasan
Dibentuk suatu lembaga khusus oleh pemerintah
pejabat pengawas lingkungan hidup berkoordinasi dengan penyidik PNS
UU No 32 Tahun 2009, juga memasukkan landasan filosofi tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi . Ini penting dalam pembangunan ekonomi nasional karena persoalan lingkungan kedepan semakin komplek dan syarat dengan kepentingan investasi. Karenannya persoalan lingkungan adalah persoalan kita semua, baik pemerintah, dunia investasi maupun masyarakat pada umumnya.
Reformasi yang ingin dibangun pada UU No.32 tahun 2009 , adanya era otonomi daerah, yang banyak memberi perubahan dalam hubungan dan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, perlu suatu landasan filosofi yang mendasar dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah-daerah.

AMDAL DALAM UU NO. 32 TAHUN 2009

Dalam UU No 32 Tahun 2009, AMDAL mendapat porsi yang cukup banyak dibandingkan instrumen lingkungan lainnya, dari 127 pasal yang ada, 23 pasal diantaranya mengatur tentang AMDAL. Tetapi pengertian AMDAL pada UU No. 32 Tahun 2009 berbeda dengan UU No. 23 Tahun 1997, yaitu hilangnya “dampak besar”.  Jika dalam UU No. 23 Tahun 1997 disebutkan bahwa “AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup ......”, pada UU No. 32 Tahun 2009 disebutkan bahwa “ AMDAL adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan .....”.

Dari ke 23 pasal tersebut, ada pasal-pasal penting yang sebelumnya tidak termuat dalam UU No. 23 Tahun 1997 maupun PP No.27 Tahun 1999 dan memberikan implikasi yang besar bagi para pelaku AMDAL, termasuk pejabat pemberi ijin.
Hal-hal penting baru yang terkait dengan AMDAL yang termuat dalam UU No. 32 Tahun 2009, antara lain:
  • AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
  • Penyusun dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL;
  • Komisi penilai AMDAL Pusat, Propinsi, maupun kab/kota wajib memiliki lisensi AMDAL
  • Amdal dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penerbitan izin lingkungan;
  • Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya.
Selain ke - 5 hal tersebut di atas, ada pengaturan yang tegas yang diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2009, yaitu dikenakannya sanksi pidana dan perdata terkait pelanggaran bidang AMDAL. Pasal-pasal yang mengatur tentang sanksi-sanksi tersebut, yaitu:
  • Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan;
  • Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi;
Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi dengan dokumen AMDAl atau UKL-UPL.

Jumat, 25 Maret 2011

TRANSFORMASI DEMOKRASI


RESUME

JUDUL BUKU   : “TRANSFORMASI DEMOKRASI”
PENGARANG    : Dr. HARJONO, S.H., MCL
PENERBIT         : SEKRETARIAT JENDERAL DAN KEPANITERAAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
JALAN MEDAN MERDEKA BARAT NO.6 JAKARTA 10110


A.      NEGARA HUKUM DAN DEMOKRASI
·       Jejak Demokrasi
Kisah demokrasi di awal perkembangannya sampai sekarang mempunyai citra kasih keberhasilan. Namun, kemenangan  demokrasi bukan cerita mulus. Masih banyak hal yang belum terpecahkan. Transformasi politik masih meninggalkan banyak persoalan dan yang belum terjawab yang timbul dari praktek maupun pemikiran-pemikiran demokrasi.

·       Supremasi Hukum dalam Negara Hukum Demokrasi
Supremasi hukum dapat bermakna sempit. Kehadiran hukum dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat haruslah lebih dari sekedar menyeleasikan sengketa konkrit.
Constitutional Reform dalam Rangka Pengokohan Negara Hukum Demokrasi
Dengan terjadinya perubahan UUD 1945 dapat dicatat beberapa kemajuan untuk meletakkan dasar yang kuat bagi sebuah negara hukum demokrasi. Konsitusi yang merupakan hukum dasar mempunyai fungsi bagi penataan fungsi-fungsi kenegaraan. Tidak saja antarlembaga negara, tetapi yang penting dalam kerangka negara hukum adalah, hubungan antar warga masyarakat dengan negara sebagai pemegang kekuasaan.[1]
Legislation Reform
Tidak hanya diarahkan pada perlunya pengaturan hal-hal yang baru, tetapi juga penyesuaian dari aturan-aturan yang telah ada sebelumnya, kepada format demokrasi. Legislation reform yang di dalamnya terkandung keadilan tidak hanya beraspekkan horizontal tetapi juga vertikal.
Judicial Reform
Lembaga peradilan adalah benteng terakhir pada upaya penegakan hukum. Untuk masa kini, ada beban yang berat bagi lembaga peradilan kita baik di tingkat pertama maupun di tingkat akhir.
Bureaucratic Reform
Dalam praktek, peran demokrasi sangat besar, sehingga ada yang menyejajarkan kekuasaan birokrasi dengan tiga kekuasaan kenegaran dan menyebut birokrasi sebagai kekuasaan ke empat.
Political Reform
Political Reform tidak hanya menyangkut bangunan struktur kelembagaan politik, tetapi dalam struktur tersebut, hak-hak politik dari warga negara yang telah dijamin dalam perubahan UUD dapa terealisasikan.

·       Independensi Kekuasaan Yudisial dalam Mendorong Pemerintahan yang Bersih
Dari sebuah kutipan Montesqieu, dapat diambil kesimpulan bahwa pemisahan kekuasaan yudisial dari cabang pemerintahan yang lain agar tercerjamin adanya kebebasan bagi warga negara.[2]

·       Menata Ulang Kekuasaan Yudisial
Dari segi kelembagaan, reformasi menghasilkan perubahan pada tingkat dasar. Penciptaan sistem tidak hanya sebatas pengubahan terhadap ketentuan yang langsung berkaitan dengan kekuasaan kehakiman saja, tetapi dilakukan secara komprehenif, yaitu dalam kesisteman UUD.
Tujuan reformasi untuk mencapai supremasi hukum dalam penataan kelembagaan peradilan. Namun masih perlu dikaji apakah penatan tersebut akan dapat secara menghilangkan praktek masa lalu yang dapat menimbulkan hilangnya kepercayaan pada lembaga peradilan.

·       Checks and Balances sebagai Jawaban
Checks and Balances adalah sebuah asas yang mendasari mekanisme kerja antar cabang pemerintahan. Checks and Balances menjadi diperlukan jika antar cabang-cabang pemerintahan memiliki otonomi yang cukup kuat untuk tidak tergantung kepada cabang pemerintahan yang lain.

B.       NEGARA DAN KONSTITUSI
·      Konsitusi Sebuah Bangsa
Menyusun konstitusi tidak cukuphanya mengumpulkan hal-hal yang dipandang baik dalam suatu kumpulan norma yang kemdian diikrarkan menjdi konstitusi. Persoalan ketatanegaraan yang rumit timul justru setelah mekanisme kerja sebuah konstitusiberoperasi dan hal yang demikian seringkali di luar antisipasi pembuat konstitusi. Pengubahan UUD tidak cukup hanya didasarkan oleh kurang kuatnya wewenang sebuah lembaga negara tertentu saja. Karena penambahan kewenanga, betapaun sedikitnya, akan mengubah mekanisme kerja yang dihasilkan sebuah konstitusi.
·      Perubahan Konstitusi
Perubahan yang dilakukan oleh MPR sebanyak empat tahap pada hakikatnya adalah satu kesatuan. Perubahan dilakukan dengan cara memuat dalam setiap produk hukum MPR yang bermateriakan perubahan, rumusan atau bunyi pasal-pasal atau ayat-ayat perubahan, tanpa mengutip bunyi ayat atau pasal yang diubah dengan hanya menyebutkan pasal atau ayat yang baru , maka pasal atau ayat yang asli digantikan bunyinya. Cara pengubahan semacam ini dimaksudkan untuk mempertahankan struktur asli UUD 1945.[3]

·      Mengukuhkan Kedaulatan Rakyat
Dengan dianutnya asas kedaulatan rakyat, maka bentuk pemerintahan yang cocok adalah sebuah negara republik. Dengan danya rumusan ini, memang kedudukan MPR dalam hal melaksanakan kedaulatan rakyat adalah sebagai lembaga yang omnipoten atau tanpa batas kewenangan. Karena jika kewewnangan MPR dibatasi berarti pula bhwa kedaulatan rakyat juga terbatas, karena dalam ajaran tentang kedaulatan rakyat salah satu unsurnya adalah kedaulatn itu tidak ada batasnya. Kedaulatan yang ada di tangan rakyat kemudian dilakukan sepenuhnya oleh MPR, menggambarkan adanya proses pengalihan kekuasaan.

·      Kedaulatan Rakyat dalam Pembuatan UU
Karena DPR dan Presiden dilih langsung oleh rakyat, maka kewenangan yang dimiliki, termasuk kewenangan untuk membentuk UU, merupakan wujud dari pelaksanaan kedaulatan rakyat secara tidak langsung, karena dengan UU tersebut, DPR dan Presiden menjalankan roda pemerintahan dan kenegaraan denagn fungsinya masing-masing, termasuk memberi kewenangan yang baru kepada lembaga maupun badan, baik pusat maupun di daerah bahkan membentuk badan atau lembaga baru.

C.      NEGARA DAN LEMBAGA NEGARA
·      Majelis Permusyawaratan Rakyat
Majelis Permusyawaratan Rakyat (disingkat MPR) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yang terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Sebelum perubahan UUD 1945
¨  Berdasarkan UUD 1945 (sebelum perubahan), MPR merupakan lembaga tertinggi negara sebagai pemegang dan pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Setelah perubahan UUD 1945
¨  Perubahan UUD 1945 membawa implikasi terhadap kedudukan, tugas, dan wewenang MPR. Kini MPR berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang setara dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Lembaga Kepresidenan, DPR, DPD, BPK, MA, dan MK.
¨  MPR juga tidak lagi memiliki kewenangan untuk menetapkan GBHN. Selain itu, MPR tidak lagi mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR), kecuali yang berkenaan dengan menetapkan Wapres menjadi Presiden, memilih Wapres apabila terjadi kekosongan Wapres, atau memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersama-sama. Hal ini berimplikasi pada materi dan status hukum Ketetapan MPRS/MPR yang telah dihasilkan sejak tahun 1960 sampai dengan tahun 2002.
Saat ini Ketetapan MPR (TAP MPR) tidak lagi menjadi bagian dari hierarki Peraturan Perundang-undangan.

·      Presiden
Posisi Presiden adalah sangat sentral baik bagi pemerintahan maupun bagi kebangsaan, oleh karena itu meskipun terbuka hak yang sama bagi setiap warga negara untuk mencalonkan Presiden namun merukan hal yang wajar dalam banyak konstitusi memberikan persyartan yang khusus. Presiden dan Wakil Presiden menurut UUD setelah perubahan dipilih secara langsung oleh rakyat.

·      Dewan Perwakilan Rakyat
Dasar Hukum Pembentukan sebelum perubahan, kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan Presiden sedangkan DPR hanya memberi persetujuan (pasal 5 ayat 1). Setelah perubahan, kekuasaan membentuk undang-undang berada di tangan DPR (pasal 20 ayat 1), dan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang.
Susunan dan Kedudukan DPR , Anggota DPR dipilih melalui pemilihan umum (Pasal 19 ayat 1), Susunan DPR diatur dengan undang-undang (Pasal 19 ayat 2), Pasal 20 ayat 1 dan pasal 5 ayat 1,kedua pasal itu mengalihkan pelaku pembentukan undang-undang dari tangan Presiden ke tangan DPR, Pasal dalam UUD 1945 menunjukkan posisi DPR menjadi lebih kuat.

·      Dewan Perwakilan Daerah
DPD dibentuk berdasarkan Amandemen Keempat UUD 1945 yaitu pasal 22C dan pasal 22D, yang mengatur kewenangan DPD sebagai representasi daerah. DPD lahir dengan semangat reformasi dan otonomi daerah untuk memperjuangkan kepentingan daerah, dan kehadiran DPD sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku (heterogen).

·      Mahkamah Kontitusi dan Mahkamah Agung
Berdasarkan Pasal 24 ayat (2) UUD 1945,Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. “ 
Kedudukan Mahkamah Konstitusi adalah lembaga peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kedudukan MK setara atau sederajat dengan lembaga negara lain.
Dalam pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 14 tahun 1970  disebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara tertinggi dalam arti Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan kasasi (terakhir) bagi putusan-putusan yang berasal dari Pengadilan-pengadilan lain. Bahkan Mahkamah Agung sebagai pula pengawas tertinggi atas perbuatan Hakim dari semua lingkungan peradilan.

·      Bank Indonesia

D.      NEGARA DAN PEMATANGAN DEMOKRASI
·      Pemilihan Presiden secara Langsung
Dalam aturan baru ini ditentukan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dicalonkan secara berpasangan. Artinya Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pemilihan. Pengajuan pasangan calon dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang ikut dalam pemilihan umum. Sedangkan untuk terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden suara yang didapatkan oleh pasangan tersebut harus memenuhi syarat jumlah dan penyebaran suara.

·      Mencipta Mekanisme Pilpres Satu Putaran
Matangnya berdemokrasi bangsa Indonesia lahir dari sebuah proses panjang. Sejak kemerdekaan sampai sekarang bangsa ini telah meakukan sembilan kali Pileg. Dari kesembilan kali Pemilu tersebut Pilpres secara langsung baru dua kali dilakukan pada tahun 2004 dan 2009. Pilpres secara langsung tentunya lebih memperkuat demokrasi yang sedang dibangun oleh bangsa ini.

·      Presiden Wakil Negara dalam Perjanjian Internasional
Konstitusi berfungsi sebagai pondasi dalam penyusunan sistem hukum negara, oleh karena itu pembuatan perjanjian Internasioanal juga menjadi bagian dalam sistem konstitusi. Dasar hukum perjanjian Internasioanal dalam ketentuan UUD 1945 setelah mengalami perubahan ialah tercantum dalam Pasal 11.

·      HAM dan Demokrasi
Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997-1998 telah memicu suatu gerakan yang lebih luas yaitu terjadinya reformasi politik. Pada perubahan Kedua UUD1945 telah memasukkan pasal–pasal yang bermaterikan HAM. Setelah perubahan UUD 1945 lengkap diakukan, dalam perubahan keempat dikenal proses pengujian UU terhadap UUD.

·      HAM dan Kebebasan Berbicara
Kebebasan berbicara merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Hak ini telah diakui sebagai hak konstitusi oleh banyak negara yang mencantumkan dalam konstitusi negara yang bersangkutan.
Dalam sistem kenegaraan, kemerdekaan berbicara menjadi tiang penyangga dari pelaksanaan asas pemerintahan yang demokrasi. Dengan adanya kebebasan berbicara maka akan terjadi kompetisi pendapat dalam wacana publik tentang gagasan-gagasan yang diajukan yang akan dipilih oleh masyarakat banyak.

·      HAM dan Peninjauan Materi Ketetapan MPR/MPRS
Hukum Panitia Ad Hoc II Badan Pekerja MPR mempersiapkan rancangan putusan yang ditugaskan kepada MPR oleh Aturan Tambahan Pasal 1 UUD 1945 perubahan, yaitu untuk melakukan peninjauan terhadap materi dan status Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR. Hasil peninjauan ini akan diputuskan pada Sidang Tahunan MPR 2003.[4]
Dalam melaksanakan tugas konstitusional sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 Aturan Tambahan, yang pertama kali perlu dilakukan oleh PAH II adalah mengkaji lebih teliti materi-materi apa saja yang terdapat dalam Tap-Tap tersebut yang kemudian disesuaikan dengan cara pengaturannya menurut ketentuan yang baru. Ketetapan MPRS/MPR yang ada dapat dikelompokkan dalam ketetapan yang einmalig, keteapan yang mengatur, ketetapan yang berisi perintah, larangan atau suruhan yang bersifat normatif, dan Ketetapan yang berisi pedoman yang bersifat moral. Adanya empat kelompok ketetapan MPR/MPRS tersebut terkait dengan kewenangan MPR sebelum perubahan UUD.[5]


[1] Dr. Harjono, S.H., MCL , Transformasi Demokrasi , Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Hlm. 28
[2] Ibid. Hlm. 39
[3] Ibid. Hlm. 63
[4] Ibid. Hlm. 202
[5] Ibid. Hlm. 203