Jumat, 25 Maret 2011

SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM PADA ABAD 20


PENGERTIAN HUKUM ABAD XX

a) Perubahan pada bidang sosial dan politik
Dalam abad ini bangsa-bangsa makin terjalin kehidupannya satu sama lain. Bangsa-bangsa yang dijajah berabad-abad lamanya mulai bangkit untuk merebut kemerdekaannya. Akibatnya pada pertengahan abad ini era kolonialisme berhenti, negara-negara Asia dan Afrika menjadi merdeka. Sesudah perang dunia kedua banyak orang mengharapkan bahwa berkat komunikasi yang makin besar pemimpin-pemimpin bangsa makin bersatu dalam pandangannya terhadap hidup bersama dan mau bekerja sama demi kesejahteraan rakyat. Akan tetapi harapan tersebut masih sangat jauh, karena pada era ini masing-masing blok masih mementingkan kepentingannya sendiri. Dilihat dari sudut ini dunia sekarang terbagi pada tiga bagian :
·      Negara yang sudah maju (negara industri kaya)
·      Negara komunis (seperti Rusia)
·      Negara yang sedang berkembang (negara bekas jajahan)

b) Perubahan pada bidang kebudayaan dan ilmu pengatahuan
Salah satu gejala yang menonjol dalam abad ini ialah bahwa kebudayaan dunia barat makin disebarluaskan di seluruh dunia. Kebudayaan yang dimaksud ialah kebudayaan yang menciptakan dunia modern (yang ditandai dengan ilmu-illmu pengetahuan dan teknik). Sebelum abad XX faktor kebudayaan ini merupakan monopoli beberapa bangsa, malahan hanya kalangan elite bangsa-bangsa itu. Maka barulah pada abad ini ilmu pengetahuan dan teknik menjadi milik semua bangsa dan semua golongan masyarakat di seluruh dunia.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknik ini cara berpikir manusia dipengaruhi juga yakni makin diterima bahwa cara berpikir secara filsafat kurang bermanfaat. Hal-hal lainya yang juga dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknik ialah timbulnya problema-problema baru khususnya dalam bidang etika. Contoh : penggunaan bom atom.
Meskipun terdapat persamaan tentang pembentukan sistem hukum yang berlaku, namun pada abad XX ini ada perbedaan tentang pengertian hukum yang hakiki. Ada dua arus besar pandangan tentang pengertian hukum yang hakiki (K. Bertens, 1981):
1.    Hukum sebaiknya dipandang dalam hubungannya dengan pemerintah negara, yaitu sebagai norma hukurn yang de facto berlaku. Tolak ukurnya adalah kepentingan umum dilihat sebagai bagian kebudayaan dan scjarah suatu bangsa. Pandangan ini bersumber dari aliran sosiologi hukum dan rcalisme hukum.
2.    Hukum seharusnya dipandang sebagai bagian kehidupan etis manusia di dunia. Oleh kacna itu disini diakui adanya hubungan antara hukum positif dengan pribadi manusia, yang berpegang pada norma-norma keadilan. Prinsip ini diambil dari filsafat neoskolastik, neokantisme, neohegelianisme dan filsafat eksistensi.

Filsafat masa kini merupakan aneka bentuk reaksi langsung atau tak langsung atas pemikiran Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Hegel ingin menerangkan alam semesta dan gerak-geriknya berdasarkan suatu prinsip.  Menurut Hegel semua yang ada dan semua kejadian merupakan pelaksanaan-yang-sedang-berjalan dari Yang Mutlak dan bersifat rohani.  Namun celakanya, Yang Mutlak itu tidak mutlak jika masih harus dilaksanakan, sebab jika betul-betul mutlak, tentunya maha sempurna, dan jika maha sempurna tidak menjadi. Oleh sebab itu pemikiran Hegel langsung ditentang oleh aliran pemikiran materialisme yang mengajarkan bahwa yang sedang-menjadi itu, yang sering sedang-menjadi-lebih-sempurna bukanlah ide ("Yang Mutlak"), namun adalah materi belaka.  Maksudnya, yang sesungguhnya ada adalah materi (alam benda); materi adalah titik pangkal segala sesuatu dan segala sesuatu yang mengatasi alam benda harus dikesampingkan.  Maka seluruh realitas hanya dapat dibuat jelas dalam alur pemikiran ini. Itulah faham yang dicetuskan oleh Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872).  Sayangnya, materi itu sendiri tidak bisa menjadi mutlak, karena pastilah ada yang ada di luar materi yang "mengendalikan" proses dalam materi itu untuk materi bisa menjadi lebih sempurna dari sebelumnya.
Kesalahan Hegel adalah tidak menerima bahwa Yang Mutlak itu berdiri sendiri dan ada-diatas-segalanya, dalam arti tidak dalam satu realitas dengan segala yang sedang-menjadi tersebut.  Dengan mengatakan Yang Mutak itu menjadi, Hegel pada dasarnya meniadakan kemutlakan.  Dalam cara sama, dengan mengatakan bahwa yang mutlak itu materi, maka materialisme pun jatuh dalam kubangan yang sama. Dari sini dapat difahami munculnya sejumlah aliran-aliran penting dewasa ini.

Positivisme
Positivisme menyatakan bahwa pemikiran tiap manusia, tiap ilmu dan suku bangsa melalui 3 tahap, yaitu teologis, metafisis dan positif ilmiah.  Manusia muda atau suku-suku primitif pada tahap teologis" dibutuhkan figur dewa-dewa untuk "menerangkan" kenyataan.  Meningkat remaja dan mulai dewasa dipakai prinsip-prinsip abstrak dan metafisis.  Pada tahap dewasa dan matang digunakan metode-metode positif dan ilmiah.  Aliran positivisme dianut oleh August Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873) dan H Spencer (1820-1903), dan dikembangkan menjadi neo-positivisme oleh kelompok filsuf lingkaran Wina.

Marxisme
Marxisme (diberi nama mengikuti tokoh utama Karl Marx, 1818-1883) mengajarkan bahwa kenyataan hanya terdiri atas materi belaka, yang berkembang dalam proses dialektis (dalam ritme tesis-antitesis-sintesis). Marx adalah pengikut setia Feuerbach (sekurangnya pada tahap awal).  Feuerbach berpendapat Tuhan hanyalah proyeksi mausia tentang dirinya sendiri dan agama hanyalah sarana manusia memproyeksikan cita-cita (belum terwujud!) manusia tentang dirinya sendiri.  Menurut Feuerbach, yang ada bukan Tuhan yang mahaadil, namun yang ada hanyalah manusia yang ingin menjadi adil. Dari sini dapat difahami mengapa Marx berkata, bahwa "agama adalah candu bagi rakyat", karena agama hanya membawa manusia masuk dalam "surga fantasi", suatu pelarian dari kenyataan hidup yang umumnya pahit. Selanjutnya Marx menegaskan bahwa filsafat hanya memberi interpretasi atas perkembangan masyarakat dan sejarah.  Yang justru dibutuhkan adalah aksi untuk mengarahkan perubahan dan untuk itu harus dikembangkan hukum-hukum obyektif mengenai perkembangan masyarakat.
Soekarno mengkalim telah mencetuskan marhaenisme sebagai marxisme diterapkan dalam situasi dan kondisi Indonesia. Kualifikasi "penerapan dalam situasi dan kondisi Indonesia" (apapun itu) pastilah tidak membuat faham marhaenisme sebagai suatu  aliran filsafat dan pastilah tidak harus sama dengan faham marxisme sebagai diterapkan di dalam lingkungan masyarakat lain.
Ditangan Friedrich Engels (1820-1895), dan lebih-lebih oleh Lenin, Stalin dan Mao Tse Tung, aliran filsafat Marxisme ini menjadi gerakan komunisme, yaitu suatu ideologi politik praktis Partai Komunis di negara mana saja untuk merubah dunia.  Sangat nyata bahwa dimana saja Partai Komunis itu menjalankan praktek-praktek yang nyatanya mengingkari hak-hak azasi manusia, dan karena itu tidak berperikemanusiaan (dan tak ber keTuhanan pula!).

Eksistensialime
Eksistensialime merupakan himpunan aneka pemikiran yang memiliki inti sama, yaitu keyakinan, bahwa filsafat harus berpangkal pada adanya (eksistensi) manusia konkrit, dan bukan pada hakekat (esensi) manusia-pada-umumnya.  Manusia-pada-umumnya tidak ada, yang ada hanya manusia ini, manusia itu. Esensi manusia ditentukan oleh eksistensinya. Tokoh aliran ini J P Sartre (1905-1980), Kierkegaard (1813-1855), Friederich Nietzche (1844-1900), Karl Jaspers (1883-1969), Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1973).
Eksistensialisme sendiri muncul dari kritik terhadap pemikiran absolutisme Hegelian. Pandangan Hegel yang begitu idealistik menyebabkan manusia sebagai individu tidak diberikan tempat di dunia ini.
Menurut Huijbers, pertama-tama manusia dimengerti secara objektif-abstrak, yakni dalam definisi yang terkenal: animal rationale. Kemudian, manusia dimengerti dalam konsep subjektif-abstrak dalam: cogito ergo sum, tekanan terletak dalam kehidupan batin. Dalam filsafat eksistensi, manusia dimengerti secara subjek-konkret: manusia adalah subjek di dunia.
Salah seorang ahli hukum yang menganut faham eksistensialis adalah Hans Maihofer. Pandangan tentang eksistensialisnya dipengaruhi oleh filsuf Jerman Martin Heideger.
Martin Heidegger (1905) dengan bukunya Sein Und Zeit (1927). Menurutnya, persoalan berada hanya dapat dijawab melalui ontologi, artinya jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan dicari artinya dalam hubungan itu. Metode untuk ini adalah metode fenomenologis. Jadi yang penting adalah menemukan arti berada itu. Satu-satunya yang berada dalam arti yang sesungguhnya adalah beradanya manusia. Keberadaan benda-benda terpisah dengan yang lain, sedang beradanya manusia, mengambil tempat di tengah-tengah dunia sekitarnya.
Keberadaan manusia adalah “berada di dalam dunia”. Maka ia dapat memberi tempat kepada benda-benda yang di sekitarnya, ia dapat bertemu dengan benda-benda itu dan dengan manusia-manusia lain dapat bergaul dan berkomunikasi dengan semuanya.
Menurut Heidegger, manusia tidak menciptakan dirinya sendiri, ia dilemparkan ke dalam keberadaan. Tetapi, walau manusia keberadaannya tidak mengadakan sendiri, bahkan merupakan keberadaan yang terlempar, manusia tetap harus bertanggungjawab atas keberadaannya itu.
Di dalam hidup sehari-hari manusia bereksistensi, tidak yang sebenarnya. Manusia yang tidak memiliki eksistensi yang sebenarnya itu menghadapi hidup yang semu, hidupnya orang banyak. Ia tidak menyatukan hidupnya sebagai satu kesatuan. Dengan ketekunan mengikuti kata hatinya itulah cara bereksistensi yang sebenarnya guna mencapai eksistensi yang sebenarnya.
Jean Paul Sartre, cukup lama ia menjadi pemikir paling populer di Eropa. Eksistensialisme-nya menjadi suatu gaya hidup. Bersama teman-temannya Sartre menerbitkan majalah Les Temps Modernes (Jaman Modern) yang menjadi corong bicara filsafat eksistensialistis, dan sekaligus dari suatu orientasi politik dan kultural.

Dialah yang menyebabkan eksistensialisme menjadi tersebar, bahkan menjadi semacam mode, sekalipun pendiri eksistensialisme bukan dia, melainkan Soren Aabye Kierkegaard. Ia mengajarkan bahwa yang ada ialah “akal individual”. Ia telah memperkenalkan istilah eksistensi yang memegang peranan penting dalam filsafat abad ke-20. Pandangan tentang pentingnya arti manusia sebagai pribadi inilah yang menjadi intisari filsafat yang dikembangkan oleh Sartre dalam nama eksistensinya.
Bagi Sartre, segala berada secara ini, “segala berada” dalam diri (I’efre en soi) adalah memuakkan (nauseant). Benda-bend yang berada demikian, kalau kita tidak memberikan arti apa-apa, dalam keadaannya sendiri, nampak memuakkan.
Adapun yang termasuk “berada untuk dirinya sendiri” (I’efre pour soi) adalah berada yang dengan sadar akan dirinya, yaitu cara berada manusia. Manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya, ia bertanggungjawab atas fakta bahwa ia ada.
Eksistensi walaupun kebebasan, namun tergantung juga kepada hal yang lain. Sebab sekali kita bebas di dalam pemilihan, kita terikat pada pemilihan itu, serta harus berbuat serta memikul akibat perbuatan itu. Maka tidak ada kebebasan yang mutlak. Kita bebas, tetapi justru itulah kecemasan kita.
Gabriel Marcel (1889-1973). Bukunya yang bersifat eksistensialis Exsistence et Obyektivite (1924). Dalam filsafatnya ia menyatakan, bahwa manusia tidak hidup sendirian, tetapi bersama-sama dengan orang lain. Tetapi manusia memiliki kebebasan yang bersifat otonom. Ia selalu dalam situasi yang ditentukan oleh kejasmaniannya. Dari luar ia dapat menguasai jasmaninya, tetapi dari dalam ia dikuasai oleh jasmaninya.
Manusia bukanlah makhluk yang statis, sebab ia senantiasa menjadi (berproses). Ia selalu menghadapi obyek yang harus diusahakan seperti yang tampak dalam hubungannya dengan orang lain.
Perjalanan manusia ternyata akan berakhir pada kematian, pada yang tidak ada. Perjuangan manusia sebenarnya terjadi di daerah perbatasan antara “berada” dan “tidak berada”. Maka manusia menjadi gelisah, menjadi putus asa dan takut kepada kematian. Tapi sebesarnya kemenangan kematian hanyalah semu saja, sebab hanya cinta kasih dan kesetiaan itulah yang memberi harapan guna mengatasi kematian. Di dalam cinta kasih dan kesetiaan ada kepastian, bahwa ada engkau yang tidak dapat mati. Harapan itulah yang menembus kematian. Adanya harapan menunjukkan, bahwa kemenangan kematian adalah semu.
Ajaran tentang harapan ini menjadi puncak ajaran Marcel. Harapan ini menunjuk adanya “Engkau Yang Tertinggi” (Toi Supreme), yang tidak dapat dijadikan obyek manusia.

Pragmatisme
Pragmatisme tidak menanyakan "apakah itu?", melainkan "apakah gunanya itu?" atau "untuk apakah itu?".  Yang dipersoalkan bukan "benar atau salah", karena ide menjadi benar oleh tindakan tertentu.  Tokoh aliran ini: John Dewey (1859-1914). John Dewey  menyatakan bahwa, manusia itu bergerak dalam kesunguhan yang selalu berubah. Jika Ia sedang menghadapi kesulitan, maka mulailah ia berpikir untuk mengatasi kesulitan itu. Jadi, berpikir tidaklah lain daripada alat untuk bertindak. Pengertian itu lahir dari pengalaman. Pandangannya mengenai filsafat sangat jelas bahwa filsafat memberi pengaruh global bagi tindakan dalam kehidupan secara riil. Filsafat harus bertitik tolak pada pada pengalaman, penyelidikan, dan mengolah pengalaman secara aktif dan kritis.
William James dilahirkan di New York pada tahun 1842 M, dan dosen di Harvard University dalam mata kuliah anatomi, fisiologi, psikologi dan dan filsafat. Karya-karyanya antara lain, The Principles of Psychlogy (1890), The Will to Believe (1897), The Varietes of Riligious Experience (1902), dan Pragmatism (1907).
Ia memandang pemikirannya sendiri sebagai kelanjutan empirisme Inggris, namun empirismenya bukan merupakan upaya untuk menyusun kenyataan berdasarkan atas fakta-fakta lepas sebagai hasil pengamatan. James membedakan dua macam bentuk pengetahuan, pertama: pengetahuan yang langsung diperoleh dengan jalan pengamatan, kedua: merupakan pengetahuan tidak langsung yang diperoleh dengan malalui pengertian.
Ada kebenaran yang yang dapat di uji secara epiris, ada kebenaran yang hanya di uji secara logis, bahkan ada kebenaran yang hanya dapat di uji dengan kekuatan rasa.
Bagi James, pengertian atau putusan itu benar, jika pada praktek dapat dipergunakan. Putusan yang tak dapat dipergunakan itu keliru. Pengertian atau keputusan itu benar, tidak saja jika terbukti artinya dalam keadaan jasmani ini, akan tetapi jika bertindak (dapat dipergunakan) dalam ilmu, seni, dan agama.

Filsafat Hidup
Henri Bergson (1859-1941). Menurut Bergson, hidup merupakan tenaga eksplosif yang telah ada sejak permulaan dunia. Kemudian terus berkembang dengan penentangan materi. Bergson meyakini adanya evaluasi yang dipandangnya sebagai suatu perkembangan yang menciptakan, yang meliputi semua kesadaran, semua hidup, semua kenyataan dimana di dalam perkembangannya senantiasa menciptakan bentuk-bentuk yang baru dengan menghasilkan kekayaan baru pula.
Filsafat Bergson disebut sebagai filsafat hidup, karena Bergson mendasarkan filsafatnya pada kenyataan bahwa yang ada adalah gerak, hidup, berubah terus. Filsafat Bergson merupakan perlawanan terhadap pandangan pada waktu itu (abad 19 dan permulaan abad 20) yang menaruh penghargaan yang berlebih-lebihan terhadap pengetahuan rasional.
Bergson, filsafatnya kembali pada pemikiran Metafisis dan anti rasionalis, dan menciptakan filsafat intuisi. Fungsi intuisi ialah untuk mengenal hakekat pribadi dengan lebih murni dan dapat mengenali seluruh hakekat kenyataan. Hakekat kenyataan baik dari pribadi maupun dari seluruh kenyataan oleh intuisi dilihat sebagai “kelangsungan murni” atau “masa murni”.
Intuisi yang dimaksudkan Bergson, lain dari perasaan perseorangan atau sentimen. Baginya filosof bukanlah seorang sentimentalis, bukanlah orang perasaan, melainkan seorang ahli pikir yang intuitif.

Fenomenologi
Fenomenologi merupakan aliran (tokoh penting: Edmund Husserl, 1859-1938) yang ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep, atau teori umum.  "Zuruck zu den sachen selbst" -- kembali kepada benda-benda itu sendiri, merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap obyek memiliki hakekat, dan hakekat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima.  Kalau kita "mengambil jarak" dari obyek itu, melepaskan obyek itu dari pengaruh pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka obyek itu "berbicara" sendiri mengenai hakekatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Fenomenologi adalah suatu filsafat yang menggunakan suatu metode fenomenologi dalam usahanya memahami suatu kenyataan. Bahwa dalam menghadapi suatu kenyataan kita menjumpai gejala-gejala (fenomena) yang belum tentu bahwa pengertian kita tentang sesuatu itu betul sama sekali.
Adapun usaha untuk mencapai hakekat segala sesuatu itu dengan jalan reduksi (penyaringan). Husserl mengemukakan tiga macam reduksi atau penyaringan, yaitu :
1.      Reduksi Fenomenologis
Di dalam reduksi fenomenologis, kita harus melakukan penyaringan terhadap semua pengalaman-pengalaman kita, dengan maksud agar mendapatkan fenomena yang semurni-murninya. Telah dikemukakan, bahwa barang-barang yang nampak kepada kita, yang lebih kita pentingkan ialah apa yang menampakkan diri yang segera kita anggap sebagai realitas di luar kita. Fenomena atau gejala yang menyodorkan diri sebagai hal yang nyata ada itu tidak boleh kita terima begitu saja. Keputusan itu harus ditangguhkan terlebih dahulu atau ditempatkan di antara tanda kurung dahulu. Sesudah itu harus memandang atau menilik apa yang kita alam di alam kesadaran kita. Kalau tindakan ini berhasil kita akan menemukan phenomenon atau gejala yang sebenarnya kita dengan demikian mengenal gejala dalam dirinya sendiri.
2.      Reduksi Eidetis
Yaitu penyaringan atau penempatan dalam tanda kurung segala hal yang bukan eidos (intisari/hakekat gejala/fenomena). Kita melihat hakekat sesuatu. Inilah pengertian yang sejati.
3.      Reduksi Transendental
Dalam reduksi transendental yang harus ditempatkan di antara tanda kurung ialah eksistensi dan segala sesuatu yang tidak ada hubungan timbal balik dengan kesadaran murni, agar dari obyek itu akhirnya orang sampai kepada apa yang ada pada subyek sendiri, dengan lain kata, metode fenomenologi itu diterapkan pada subyeknya sendiri dan kepada perbuatannya, kepada kesadaran yang murni.
Fenomenologi banyak diterapkan dalam epistemologi, psikologi, antropologi, dan studi-studi keagamaan (misalnya kajian atas kitab suci).

Neo-kantisme dan  neo-thomisme
Neo-kantisme dan  neo-thomisme merupakan aliran-aliran yang merupakan kelahiran kembali dari aliran yang lama, oleh dialog dengan aliran lain.
Disamping itu masih ada aliran filsafat analitik yang menyibukkan diri dengan analisis bahasa dan analisis atas konsep-konsep. Dalam berfilsafat, jangan katakan jika hal itu tidak dapat dikatakan. "Batas-batas bahasaku adalah batas-batas duniaku". Soal-soal filsafat seyogyanya  dipecahkan melalui analisis atas bahasa, untuk mendapatkan atau tidak mendapatkan makna dibalik bahasa yang digunakan. Hanya dalam ilmu pengetahuan alam pernyataan memiliki makna, karena pernyataan itu bersifat faktual. Tokoh pencetus: Ludwig Wittgenstein (1889-1952).
Akhirnya sejak 1960 berkembang strukturalisme yang menyelidiki pola-pola dasar yang tetap yang terdapat dalam bahasa-bahasa, agama-agama, sistem-sistem dan karya-karya kesusasteraan.


Huijbers, Theo. 1982. “Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah”. Yogyakarta: Kanisius.

­­­­­­­­­____________. 1995. “Filsafat Hukum”. Yogyakarta: Kanisius.

Anshori, Abdul Ghofur. 2006. ”Filsafat Hukum Sejarah, Aliran dan Pemaknaan”. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Rasjidi, Lili. 1993. “Dasar-Dasar Filsafat Hukum”. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.

Tidak ada komentar: